Selasa, 06 Januari 2009

Pajak

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Pajak juga merupakan suatu fenomena yang selalu berkembang di masyarakat Indonesia karena diiringi dengan perkembangan perekonomian negara Indonesia. Dalam era globalisasi atau era persaingan bebas ini, cepat atau lambat tidak dapat ditolak dan harus menerima keberadaan globalisasi ekonomi serta mengambil kesempatan yang dapat timbul akibat adanya perubahan ekonomi internasional. Salah satu perangkat pendukung yang menunjang agar tercapai keberhasilan ekonomi dalam meraih peluang adalah hukum pajak atau yang sering disebut dengan hukum fiskal, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah dalam memungut pajak. Untuk menjadikan pajak sumber penerimaan negara atau pembiayaan pembangunan yang utama, bukan merupakan hal yang mudah karena banyak kendala-kendala yang dihadapi, baik yang timbul dari masyarakat sebagai wajib pajak maupun dari pihak otoritas pajak serta peraturan perundang-undangan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pajak dan Hukum Pajak

Pajak menurut Adriani adalah iuran kepada negara (yang dapat dipakaskan) yang terhutang oleh yang membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak merupakan bagian dari pungutan yang menitik beratkan pajak pada fungsi budgeteIr dan pengaturan.Prestasi dan fasilitas yang dikeluarkan oleh negara sebagian besar bersumber dari pajak, tetapi orang yang tidak membayar pajak pun mendapat fasilitas yang sama..

Pajak terbagi menjadi dua:

  1. pajak langsung adalah pajak yang dipungut secara periodik menurut daftar piutang pajak, sesuai dengan ketetapan pajak.

Contoh: pajak pendapatan, pajak kekayaan, pajak bumi dan bangunan, pajak perseroan.

  1. pajak tidak langsung adalah pajak yang dipungut kalau ada suatu peristiwa atau perbuatan tertentu. Pajak ini tidak dipungut secara berkala, tetapi hanya dipungut pada waktu terjadi suatu peristiwa atau perbuatan tertentu saja.

Contoh: Bea balik nama, Bea materai.

Hukum pajak, yang juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannnya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga Ia merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum ) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).

Tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum ini; dalam pada itu adalah penting sekali bahwa tidak harus diabaikan begitu saja latar belakang ekonomi dari keadaan-keadaan dalam masyarakat tersebut.

Hukum pajak memuat pula unsur-unsur hukum pidana dengan acara pidananya. Yang terutama menarik perhatian para cendikiawan adalah seringnya berubah peraturan-peraturannya, yaitu sebagai akibat dari perubahan yang terdapat pada kehidupan ekonomi dalam masyarakat dimana perubahan ini mengahruskan pengubahan peraturan-peraturan pajaknya, demikian pula dengan negara-negara yang telah maju (juga dalam caranya mengatur pajaknya) yang telah dapat menyesuaikan segala aparaturnya dengan kebutuhan masyarakatnya untuk secepat-cepatnya bereaksi terhadap segala perubahan, terutama yang termasuk dalam lapangan perekonomian.

Timbulnya kewajiban pajak jika dipenuhi dua syarat:

  1. kewajiban pajak subjektif: kewajiban pajak yang melihat kepada orangnya. Pada umumnya semua orang baik manusia maupun badan hokum memenuhi persyaratan wajib pajak.
  2. kewajiban pajak subjektif: kewajiban pajak yang melihat pada hal-hal yang dapat dikenakan pajak. Seorang manusia dan badan hokum memenuhi kewajiban pajak objektif jika mendapat penghasilan.

Hak-hak yang dipunyai wajib pajak:

  1. mengajukan permintaan untuk membetulkan, mengurangkan membebbaskan ketetapan pajak dalam hal: terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung tariff atau kesalahan dalam menetukan dasar penetapan pajak.
  2. mengajukan keberatan kepada kepala Inspeksi pajak/Direktur Jendral Pajak apabila wajib pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang harus diajukan dalam waktu tiga bulan setelah tanggal surat ketetapan pajak.
  3. mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak apabila wajib pajak keberatan atas:

a. keputusan yang diambil oleh Kepala Inspeksi Pajak terhadap surat keberatannya;

b. surat tagihan susulan yang dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Pajak

  1. meminta pengembalian pajak (restitusi), meminta memindahbukuan setoran pajak ke setoran lainnya atau setoran tahun berikutnya.
  2. wajib pajak dapat pula mengajukan gugatan perdata ataupun pidana kepada Pengadilan Negeri atas dasar perbuatan melanggar hukum (onrehtmatige daad) ataupun pembocoran rahasia dari wajib pajak yang menyebabkan timbulnya kerugian pada wajib pajak.

B. Fungsi Pajak

Pengertian “fungsi” dalam fungsi pajak adalah pengertian pungsi sebagai kegunaan suatu hal. Maka fungsi pajak adalah kegunaan pokok, manpaat pokok pajak. Sebagai alat untuk menetukan polotik perekonomian, pajak memiliki kegunaan dan manfaaat pokok dalam meningkatkan kesejahteraan umum, suatu negara tidak akan mungkin menghendaki merosotya kehidupan ekonomi masyarakatnya. Umumnya dikenal dengan dua macam funngsi pajak, yaitu fingsi budgetair dan fungsi regulerend.

1. fungsi budgetair

fungsi budgetair ini merupakan fungsi utama pajak, atau fungsi fiscal (fiscal function), yaitu suatu fungsi dalam mana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukan dana secara optimal ke kas Negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Disebut sebagai fungsi utama, karena fungsi inilah yang secara histiris pertama kali muncul. Pajak digunakan sebagai alat untuk menghimpun dana dari masyarakat tanpa ada kontra prestasi secara langsung dari zaman sebelum masehi sudah dilakukan. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan dengan cara memungut pajak dari penduduknya.

2. fungsi Regulerend

fungsi regulerend disebut juga fungsi mengatur , yaitu pajak merupakan alat kebijak pemerintah untuk mencapai tujuan tetentu. Merupakan fungsi lain dari pajak sebagai fungsi budgetair. Di samping usaha untuk memasukan uang untuk kegunaan kas Negara, pajak dimaksudkan pula sebagai usaha pemerintah untuk ikut andil dalam hak mengatur dan bilamana perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaaan dalam sector swasta. Fungsi regulerend juga disebut fungsi tambahan, karena fungsi regulerend ini hanya sebagai tambahan atas fungsi utama pajak, yaitu fungsi budgetair.

C. System Pemungutan Pajak

Pada masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan Official Assessment System dimana dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini wajib pajak bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak. Tetapi setelah tahun 1983, berdasarkan Undang-undang Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di Indonesia sejak tahun 1984 sampai sekarang diterapkan Self Assessment System, dimana wajib pajak diberi wewenang penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali wajib pajak melanggar ketentuan yang berlaku.
Tiga prinsip yang mendasari sistem dan mekanisme pemungutan pajak sebagaimana dalam Penjelasan Umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah:

  • Pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melakukan kewajiban perpajakan yang diperlakukan untuk pembiayaan negara.
  • Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
  • Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment) sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara hukum yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya sehingga terbentuk suatu masyarakat yang adil dan makmur, tentram, aman yang merata bagi seluruh bangsa Indonesia. Negara juga mempunyai beberapa kewajiban yang paling utama yaitu melindungi rakyat dengan segala kepentingannya dan menyediakan sarana serta fasilitas yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada rakyat, mempertahankan hukum, memelihara ketertiban dan keamanan negara. Untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut negara membutuhkan sumber-sumber penghasilan seperti penghasilan perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penghasilan dari barang-barang milik negara, penghasilan dari denda dan sitaan barang karena suatu pelanggaran, hibah dan sumbangan dari negara lain atau organisasi internasional maupun penghasilan dari hak-hak waris dan penerimaan dari berbagai macam pajak, retribusi, bea, dan cukai serta bentuk-bentuk pungutan lainnya. Dari sumber-sumber penerimaan negara tersebut, pajak merupakan sumber yang paling dominan karena hal tersebut terbukti dari angka yang terdapat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa penerimaan pajak terus mengalami peningkatan. Penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun kita dapat melihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan gas sebagai sumber dana pembangunan. Saat ini Indonesia mulai memprioritaskan sektor pajak sebagai sumber pendanaan pembangunan di berbagai bidang. Peningkatan penerimaan pajak tersebut dimulai pada tahun fiskal 1984, pemerintah memberitahukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak (Priantara, 2000). Penerimaan sektor pajak mengalami peningkatan volume dari tahun ke tahun sejak pembaharuan di bidang perpajakan, yang dikenal dengan reformasi pajak yang dilaksanakan tahun 1983. Dengan reformasi pajak nasional sistem pajak yang berlaku saat ini akan disederhanakan (Suandy, 2000) Penyederhanaan tersebut mencakup jenis pajak, tarif pajak dan cara pembayaran pajak. Setelah reformasi ini sistem pembayaran pajak akan makin adil dan wajar, sedangkan jumlah wajib pajak akan makin luas. Selanjutnya reformasi pajak akan dilakukan terhadap aparat pajak, baik yang menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin maupun mental. Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi harus dilakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan sistem perekonomian.

DAFTAR PUSTAKA

Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Sony Devano, Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan: konsep, teori, dan isu, jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006

Djamaludin Gade, Muhammad Gade, Hukum Pajak, Jakatra: FE-UI, 2004

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN..................................................................................... 2

A. Pengertian Hibah...................................................................................... 2

B. Dasar Hukum Hibah................................................................................. 2

C. Rukun Dan Syarat Sahnya Hibah............................................................. 3

D. Pelaksanaan Hibah.................................................................................... 4

E. Ruju' di dalam Hibah................................................................................ 4

BAB III PENUTUP................................................................................................ 6

A. Kesimpulan............................................................................................... 6

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 7



HIBAH

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim ataupun non muslim. Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya.Salah satu di antaranya adalah hibah

( hibah) ada dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti.

Hibah ini Memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup banyak riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. beserta para sahabatnya memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai apa saja yang berkenaan dengan hibah, di antaranya tentang rukun dan syarat hibah, dasar hukum hibah, pelaksanaan hibah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab. Kata ( hibah) adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti. Secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi.

Para ulama pemakna memberikan pengertian yang lebih lugas diantaranya pendapat dari Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya. Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Secara sederhana hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup Perjanjian antara pemberi dan penerima ini kita kenal dengan perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).

B. Dasar Hukum Hibah

Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin ''Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :

"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".

C. Ruju' di dalam Hibah

Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’ di dalam hibah itu haram, sekalipun hibah itu terjadi di antara saudara atau suami isteri, kecuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya[1], maka ruju’nya diperbolehkan berdasarkan hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi dan dia mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi shahih.

Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua[2] kepada anaknya[3] Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali”.

D. Rukun Dan Syarat Sahnya Hibah
Rukun adalah unsur persyaratan yang wajib terpenuhi dalam sebuah kegiatan (ibadah). Rukun hibah adalah sebagai berikut :

  1. Penghibah , yaitu orang yang memberi hibah
  2. Penerima hibah yaitu orang yang menerima pemberian
  3. Benda yang dihibahkan
  4. Ijab dan kabul.

Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :

  1. Syarat-syarat bagi penghibah

a) Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.

b) Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.

c) Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).

d) Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.

Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.

2. Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.

3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan

a) Benda tersebut benar-benar ada.

b) Benda tersebut mempunyai nilai.

c) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan.

d) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.

4. Ijab Kabul
Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu". Sedangkan Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.

E. Pelaksanaan Hibah
Sekaitan pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
  2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
  3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.
  4. Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara sederhana hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup Perjanjian antara pemberi dan penerima ini kita kenal dengan perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).

Berkaitan dengan fungsi hibah sebagai fungsi sosial, maka Nabi Muhammad SAW. melarang keras untuk menarik kembali hibah yang sudah diberikan danhukumnya haram, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hal ini dapat difahamibahwa hibah yang ditarik kembali akan menimbulkan kebencian dan merusakhubungan sosial. Perumpamaan hibah yang ditarik kembali sebagaimana yangdinyatakan Nabi Muhammad SAW adalah seperti seekor anjing yang menjilati air liur yang sudah dimuntahkannya, sungguh suatu perumpamaan yang tidak menyenangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H SH MH, 2004, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004.

Pasaribu, H. Chairuman Drs dan Suhrawardi K. Lubis SH, 1996, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: sinar Grafika.

Rasyid, Sulaiman, 1990, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru.

Sabiq, Sayid, 1988, Fikih Sunnah Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma'arif.

Sayid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14,Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1988, hlm. 167.

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1990, hlm. 305



[1] Malik berkata: orang tua diperbolehkan ruju’ dalam hibah yang diberikan kepada anaknya, kecuali bila barang yang dihibahkan itu telah berubah keadaannya; maka dia tidak lagi boleh meruju’nya.

Berkata Abu Hanifah: orang tua tidak diperbolehkan ruju’ dalam hibah yang telah diberikan kepada anaknya atau kepada setiap orang yang mempunyai hubungan keluarga dengannya. Dia hanya boleh ruju’ dalam hibah yang diberikan kepada orang lain.

[2] Ibu itu hukumnya seperti ayah menurut sebagian besar ulama.

[3] Baik anak itu sudah besar maupun masih kecil.